iklan

Senin, 19 Desember 2011

PERTAMBANGAN TANPA IZIN (PETI)




SARI
Pertambangan Tanpa Izin (PETI) adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki Izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. PETI diawali oleh keberadaan para penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena adanya faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan backing, ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat setempat, serta krisis ekonomi ber­kepanjangan yang diikuti oleh penafsiran keliru tentang reformasi. Di sisi lain, kelemahan dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang menganaktirikan pertam­bangan (oleh) rakyat, juga ikut mendorong maraknya PETI.
Kegiatan PETI yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertam­bangan yang benar, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan kecelakaan tambang. Disamping itu, PETI bukan saja menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang, tetapi juga Negara/Pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Hal lain yang perlu dicermati adalah PETI umumnya identik dengan budaya kekerasan/premanisme, prostitusi, perjudian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengingkaran terhadap norma-norma agama. Budaya \\\'mencuri\\\' termasuk menjarah, semakin berkembang, sehingga memberikan pengaruh buruk bagi mereka yang ingin berusaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gejolak sosial, baik antara perusahaan resmi dengan pelaku PETI maupun diantara sesama pelaku PETI sendiri, adalah dampak negatif lain akibat keberadaan PETI. Oleh karena itu, melalui Inpres Republik Indonesia No.3 Tahun 2000, diinstruksikan kepada Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, para Gubernur dan para Bupati/Walikota agar melakukan upaya penanggulangan masalah dan penertiban serta penghentian segala bentuk kegiatan per­tambangan tanpa izin, secara fungsional dan menyeluruh sesuai tugas dan kewenangan masing­-masing.
Mengingat begitu kompleks permasalahan PETI, maka kebijakan penanggulangan PETI diarahkan melalui pen­dekatan sosial kemasyarakatan seiring dengan ditegakkannya hukum, Dengan kata lain, bagaimana kepentingan masyarakat dapat diakomodasikan secara proporsional tanpa mengabaikan prinsip-prinsip praktek pertambangan yang baik dan benar. Pendekatan sosial kemasyarakatan tersebut, diarahkan guna mewujudkan pelaksanaan transformasl struktural, pelaksanaan program Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Pertambangan Skala Kecil (PSK) serta pelaksanaan program kemitraan antara para pelaku PETI dengan perusahaan pemegang resmi.
Pembahasan
PETI adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan/yayasan ber­badan hukum yang dalam operasinya tidak memilki izin dari instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, izin, rekomendasi , atau bentuk apapun yang diberikan kepada perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan/yayasan oleh instansi pemerintah di luar ketentuan peraturan perundang­undangan yang berlaku, dapat dikategorikan sebagai PETI.
Mengingat kegiatan PETI yang tidak menerapkan kaidah pertambangan secara benar (good mining practice) dan hampir-­hampir tidak tersentuh hukum, sementara di sisi lain bahan galian bersifat tak terbarukan (non renewable resources) dan dalam pengusahaannya berpotensi merusak lingkungan (potential polluter), maka yang terjadi kemudian adalah berbagai dampak negatif yang tidak saja merugikan Pernerintah, tetapi juga masyarakat luas dan generasi mendatang. Kerusakan ling­kungan, pemborosan sumber daya mineral, dan kemerosotan moral merupakan contoh dari dampak negatif yang merugikan Pemerintah, masyarakat luas dan generasi mendatang. Khusus bagi Pemerintah, dampak negatif itu ditambah pula dengan kerugian akibat kehilangan pendapatan dari pajak dan pungutan iainnya, biaya untuk memperbaiki lingkungan, pelecehan terhadap kewibawaan, dan kehilangan kepercayaan dari investor asing yang nota bene menjadi tulang punggung pertumbuhan sektor pertam­bangan nasional. Akhirnya Indonesia kehilangan salah satu andalan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, serta kehilangan kesempatan untuk menurunkan angka pengangguran.
Penanggulangan masalah PETI selau saja dihadapkan kepada persoalan dilematis. Hal ini disebabkan PETI identik dengan kehidupan masyarakat bawah yang tidak memiliki akses kepada sumber daya ekonomi lain karena keterbatasan pendidikan, keahlian, dan ketrampilan yang dimilikinya. Penutupan kegiatan usaha berarti menambah panjang daftar angka pengangguran dan kemiskinan, sementara membiarkan mereka tetap beroperasi berarti menginjak-­injak peraturan perundang­-undangan yang berlaku. Meski memberikan dampak yang berbeda, keduanya membawa resiko bagi Pemerintah.
Di sisi lain, upaya untuk mewadahi masyarakat miskin (rakyat kecil) melalui pola Pertambangan Rakyat dan Pertambangan Skala Kecil belum memberikan hasil optimal. Disamping dihadapkan masalah internal, kekurangberhasilan kedua pola ini juga diakibatkan oleh keberadaan cukong di tengah-­tengah masyarakat miskin yang terus meracuni kehidupan mereka. Para cukong tersebut, mampu berperan sebagai dewa penyelamat dengan iming-iming uang, meski dalam prakteknya menerapkan sistem ijon, sehingga masyarakat miskin terjerat dan tidak dapat lagi melepaskan diri dari cengkeraman cukong. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka perlu pendekatan baru dalam menanggulangi masalah PETI, yaitu bersifat manusiawi, arif, adil dan mengedepankan pendekatan sosial kemasyarakatan dengan tetap memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berperan langsung secara proporsional pada kegiatan usaha pertambangan, tanpa meng­abaikan prinsip-prinsip pertam­bangan yang baik dan benar.
Faktor Pendorong
Faktor pendorong kehadiran PETI dapat dikelompokkan menjadi:
1.             Faktor Sosial , yaitu :
-               Keberadaan penambang tradisional oleh masyarakat setempat yang telah berlangsung secara turun - temurun.
-               Hubungan yang kurang harmonis antara pertambangan resmi/berizin dengan masyarakat setempat.
-               Penafsiran keliru tentang reformasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa batas.
2.             Faktor Hukum, yaitu
-             Ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan perundang- undangan yang berlaku dibidang pertambangan.
-            Kelemahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan, yang antara lain tercermin dalam kekurang berpihakan kepada kepentingan masyarakat luas dan tidak adanya teguran terhadap pertambangan resmi/berizin yang tidak memanfaatkan wilayah usahanya (lahan tidur).
-               Kelemahan dalam penegakan hukum dan pengawasan.
3.             Faktor Ekonomi, yaitu : Keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang sesuai dengan tingkat keahlian/ ketrampilan masyarakat bawah.
-             Kemiskinan dalam berbagai hal, miskin secara ekonomi, pengetahuan, dan ketrampilan.
-              Keberadaan pihak ketiga yang memanfaatkan kemiskinanuntuk tujuan tertentu, yaitu penyandang dana (cukong), backing (oknum aparat) dan LSM.
-              Krisis ekonomi berkepanjangan yang melahirkan pengangguran terutama dari kalangan masyarakat bawah.Penemuan cadangan baru oleh perusahaan tambang resmi/ berizin,
Dampak Negatif
1.             Kehilangan Penerimaan Negara
Dengan status yang tanpa izin, maka otomatis PETI tidak terkena kewajiban untuk membayar pajak dan pungutan lainnya kepada Negara. Menurut perhitungan, kerugian Negara atas tidak terpungutnya pajak dari PETI diperkirakan mencapai
Rp. 315,1 milyar/tahun. Jumlah ini dipastikan akan membengkak jika memperhitungkan penerimaan negara dari sektor lain yang mendukung kegiatan PETI (multiplier effect) dan tidak dapat dipungut oleh Negara.
2.             Kerusakan Lingkungan Hidup
Pada perusahaan tambang resmi/berizin, yang notabene dibebani kewajiban untuk melaksanakan program peng­elolaan lingkungan melalui AMDAL, faktor lingkungan hidup tetap menjadi masalah krusial yang perlu mendapat pengawasan intensif, Dengan kegiatan PETI yang nyaris tanpa pengawasan, dapat dibayangkan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Terlebih lagi, para pelaku PETI praktis tidak mengerti sama sekali tentang pentingnya pengelolaan ling­kungan hidup, sehingga lahan suburpun berubah menjadi hamparan padang pasir yang tidak dapat ditanami akibat tertimbun limbah penambangan dan pengolahan.
3.             Kecelakaan Tambang
Dari aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), kegiatan PETI telah menimbulkan kecelakaan tambang yang memakan korban luka-luka dan meninggal dunia, serta berbagai penyakit. Memang tidak ada laporan resmi tentang jumlah korban, baik yang luka, cacat, maupun meninggal dunia, namun diperkirakan cukup banyak. Hai ini dapat diprediksi dari berita di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional, yang mem­beritakan kecelakaan tambang.
 4.             Iklim Investasi Tidak Kondusif
Tertarik tidaknya investor untuk menanamkan modalnya disektor pertambangan, bukan semata-mata, dilihat dari sisi geologis, namun dipengaruhi juga dari stabilitas politik dan ekonomi yang mampu memberikan jaminan kepastian hukum. Dua faktor terakhir inilah yang kini tengah mengalami batu ujian di Indonesia menyusul maraknya PETI di berbagai wilayah, sebab telah mengakibatkan iklim investasi menjadi tidak kondusif dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut hasil beberapa studi, sebelum terjadi krisis ekonomi dan politik, sudah diidentifikasi bahwa dalam segi kepastian hukum dan keamanan investasi, Indonesia dinilai lebih rendah dibanding kompetitor terdekatnya (Cina). Dengan terjadinya krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan, serta disusul oleh penjarahan PETI terhadap wilayah pertambangan berizin, maka dapat dipastikan Indonesia berada pada peringkat bawah sebagal negara berisiko tinggi untuk berinvestasi (high country risk).

5.             Pemborosan Sumber Daya Mineral
Teknologi penambangan dan pengolahan yang dilakukan oleh PETI secara umum sangat sederhana, sehingga perolehannya (recovery) sangat kecil (sekitar 40%), Baik sisa cadangan yang masih tertinggal di dalam tanah maupun limbah hasil pengolahan (tailing), yang masing-masing sebesar 60%, sangat sulit untuk ditambang atau diolah kembali karena kondisinya sudah rusak (idle resources). Disamping itu, karena PETI hanya menambang cadangan berkadar tinggi, maka cadangan berkadar rendah menjadi tidak ekonomis untuk ditambang. Padahal jika penambangan dilakukan secara benar (good mining practice), cadangan berkadar rendah sebenarnya ekonomis untuk ditambang apabila dicampur (mixing) dengan cadangan berkadar tinggi sepanjang sesuai cut off grade yang telah ditentukan.
6.             Pelecehan Hukum
Kegiatan PETI telah menimbulkan preseden buruk bagi upaya penegakan dan supremasi hukum di Indonesia. Hukum memang sulit atau mustahil diberlakukan di wilayah-wilayah PETI, sebab aparat penegak hukum sendiri seringkali harus berhadapan dengan kelompok masyarakat yang \\\'tidak mengerti hukum\\\', karena berbagai alasan. Dampak negatif lebih buruk yang muncul kemudian adalah keengganan pengusaha untuk berusaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi Pemerintah untuk menumbuhkan sektor pereko­nomian secara menyeluruh.
7.             Kerawanan Sosial
Di hampir semua lokasi kegiatan PETI, gejolak sosial merupakan penstiwa yang kerap terjadi, baik antara perusahaan resmi dengan pelaku PETI, antara masyarakat setempat dengan pelaku PETI (pendatang), maupun diantara sesama pelaku PETI sendiri dalam upaya mempertahankan/me­lindungi kepentingan masing-­masing. Masyarakat bawah, yang seringkali menjadi korban dari penyandang dana (penadah) dan oknum aparat, mengakibatkan kehidupan mereka sangat rawan terhadap rnuncuinya gejolak sosial.
Kondisi Saat Ini
Sejauh ini jenis bahan galian yang diusahakan oleh PETI yang berhasil diinventansasi adalah emas, batubara, dan intan. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya bahan galian Golongan A dan Golongan B lain yang juga diusahakan oleh PETI. Khusus untuk bahan galian Golongan C, berdasarkan hasil survei Puslitbang Teknologi Mineral, terungkap bahwa lebih dari 90% usaha pertambangan bahan galian Golongan C berstatus tanpa izin (PETI/non SIPD), mencakup hampir seluruh provinsi (60% berada di P.Jawa), serta meliputi seluruh jenis bahan galian golongan C (terbesar adalah bahan galian agregat, seperti batu, pasir, dan kapur).
Kebijakan Penanggulangan Masalah PETI
Penanggulangan masaiah PETI, selalu dihadapkan kepada berbagai hambatan dan masalah, yaitu:
1.             Masih banyaknya oknum aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang terlibat atau melibatkan diri pada kegiatan PETI.
2.             Perangkat hukum di berbagai sektor yang terkait dengan kegiatan pertambangan, mulai dari tahapan eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, sampah kepada pengawasan komoditi tambang, menunjuk­kan belum adanya visi yang sama/seragam, sehingga sering menimbulkan biaya tinggi dan lolosnya komoditi tambang illegal berikut pelakunya dari jeratan hukum. Sementara itu, sanksi bagi pelaku PETI sesuai Undang-undang No.11 tahun 1967, masih relatif ringan dan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat luas.
3.             Pemerintah pusat dan daerah belum bekerja secara fungsional dan terpadu, sehingga penertiban oleh berbagai instansi belum berjalan optimal.
4.             Walaupun sudah diterbitkan Inpres No.3 Tahun 2000, belum seluruh Pemda memberikan respon terhadap kegiatan penanggulangan masalah PETI. Padahal Pemda merupakan ujung tombak dari kegiatan ini.
Mengingat permasalahan PETI begitu kompleks, maka penang­gulangannya memerlukan konsep yang terintegrasi dan harus dilakukan secara terpadu. Dengan mernpertimbangkan permasalahan faktual yang terjadi dibidang sosial, ekonomi, hukum dan politik, maka penanggulangan masalah PETI ini menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan seiring dengan ditegakkannya hukum. Artinya, bagaimana kepentingan masy­arakat dapat diakomodasikan secara proporsional tanpa mengabaikan prinsip-prinsip
praktek pertambangan yang balk dan benar, yang diarahkan kepada:
1.             Transfornnasi struktural, agar kegiatan ekonomi masyarakat setempat dapat diarahkan kepada kegiatan usaha disektor lainnya yang lebih menarik daripada sebagai penambang tanpa izin, atau pada kegiatan usaha penunjang di sektor pertam­bangan.
2.             Bagi masyarakat yang ingin menekuni usaha di sektor pertambangan, diakomodasikan melalui pola Pertambangan Rakyat/ Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Pertambangan Skala Kecil (PSK) yang mengalokasikan wilayahnya dikaitkan dengan kebijakan penciutan wilayah, dan mendapat bimbingan serta subsidi dari pemerintah. Disamping itu, pemerintah akan rnengalokasikan cadangan mineral dangkal dan atau sekunder (alluvial) yang terdapat di sungai-sungai atau bekas sungai untuk diusahakan oleh rakyat melalui pertambangan berskala kecil. Dalam kaitan ini diperlukan pembinaan dan pengawasan secara intensif, serta dalam pelaksanaannya dapat dilakukan bekerjasama dengan perusahaan tambang swasta dan BUMN.
3.             Apabila kedua Cara diatas belum mampu mengurangi atau meniadakan aktivitas PETI secara keseluruhan, masih dimungkinkan melalui program kemitraan usaha, sehingga (eks) pelaku PETI yang aktivitasnya berada pada konsesi perusahaan pemegang pertambangan (KP/KK/PKP2B) menjadi subordinat dari kegiatan usaha pertambangan tersebut dengan kondisi tertentu yang saling menguntungkan (win-win solution).
4.             Penerapan strategi dengan
-               Mengupayakan adanya penegakan hukum.
-               Mendorong perusahaan pertambangan melaksanakan pengembangan masyarakat (community development) yang sesuai setempat.
-               Mengupayakan usaha pertam­bangan yang berpihak dapat masyarakat dan ramah lingkungan.
-               Mengupayakan adanya keterpaduan usaha kegiatan pertambangan tradisional, skala kecil, menengah, dan skala besar melalui kemitraan yang saling menguntungkan.
Akhirnya, bahwa masalah penanggulangan PETI adalah kunci bagi pembenahan sektor per­tambangan guna mendorong terlaksananya good mining practice yang berwawasan lingkungan dan terciptanya iklim yang kondusif.

Sumber: Majalah Info Pertambangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar