SARI
Pertambangan
Tanpa Izin (PETI) adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh
perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum
yang dalam operasinya tidak memiliki Izin dan instansi pemerintah sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. PETI diawali oleh
keberadaan para penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena
adanya faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan
usaha, keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan
backing, ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat
setempat, serta krisis ekonomi berkepanjangan yang diikuti oleh
penafsiran keliru tentang reformasi. Di sisi lain, kelemahan dalam
penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang menganaktirikan
pertambangan (oleh) rakyat, juga ikut mendorong maraknya PETI.
Kegiatan
PETI yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertambangan yang benar,
telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya
mineral, dan kecelakaan tambang. Disamping itu, PETI bukan saja
menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang, tetapi juga
Negara/Pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk
memperbaiki kerusakan lingkungan. Hal lain yang perlu dicermati adalah
PETI umumnya identik dengan budaya kekerasan/premanisme, prostitusi,
perjudian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengingkaran terhadap
norma-norma agama. Budaya \\\'mencuri\\\' termasuk menjarah, semakin
berkembang, sehingga memberikan pengaruh buruk bagi mereka yang ingin
berusaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gejolak
sosial, baik antara perusahaan resmi dengan pelaku PETI maupun diantara
sesama pelaku PETI sendiri, adalah dampak negatif lain akibat
keberadaan PETI. Oleh karena itu, melalui Inpres Republik Indonesia
No.3 Tahun 2000, diinstruksikan kepada Menteri, Jaksa Agung, Kapolri,
para Gubernur dan para Bupati/Walikota agar melakukan upaya
penanggulangan masalah dan penertiban serta penghentian segala bentuk
kegiatan pertambangan tanpa izin, secara fungsional dan menyeluruh
sesuai tugas dan kewenangan masing-masing.
Mengingat
begitu kompleks permasalahan PETI, maka kebijakan penanggulangan PETI
diarahkan melalui pendekatan sosial kemasyarakatan seiring dengan
ditegakkannya hukum, Dengan kata lain, bagaimana kepentingan masyarakat
dapat diakomodasikan secara proporsional tanpa mengabaikan
prinsip-prinsip praktek pertambangan yang baik dan benar. Pendekatan
sosial kemasyarakatan tersebut, diarahkan guna mewujudkan pelaksanaan
transformasl struktural, pelaksanaan program Wilayah Pertambangan Rakyat
(WPR) dan Pertambangan Skala Kecil (PSK) serta pelaksanaan program
kemitraan antara para pelaku PETI dengan perusahaan pemegang resmi.
Pembahasan
PETI
adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok
orang, atau perusahaan/yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya
tidak memilki izin dari instansi pemerintah sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, izin, rekomendasi ,
atau bentuk apapun yang diberikan kepada perseorangan, sekelompok orang,
atau perusahaan/yayasan oleh instansi pemerintah di luar ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku, dapat dikategorikan sebagai
PETI.
Mengingat kegiatan PETI
yang tidak menerapkan kaidah pertambangan secara benar (good mining
practice) dan hampir-hampir tidak tersentuh hukum, sementara di sisi
lain bahan galian bersifat tak terbarukan (non renewable resources) dan dalam pengusahaannya berpotensi merusak lingkungan (potential polluter),
maka yang terjadi kemudian adalah berbagai dampak negatif yang tidak
saja merugikan Pernerintah, tetapi juga masyarakat luas dan generasi
mendatang. Kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan
kemerosotan moral merupakan contoh dari dampak negatif yang merugikan
Pemerintah, masyarakat luas dan generasi mendatang. Khusus bagi
Pemerintah, dampak negatif itu ditambah pula dengan kerugian akibat
kehilangan pendapatan dari pajak dan pungutan iainnya, biaya untuk
memperbaiki lingkungan, pelecehan terhadap kewibawaan, dan kehilangan
kepercayaan dari investor asing yang nota bene menjadi tulang punggung
pertumbuhan sektor pertambangan nasional. Akhirnya Indonesia kehilangan
salah satu andalan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, serta
kehilangan kesempatan untuk menurunkan angka pengangguran.
Penanggulangan masalah PETI selau saja dihadapkan kepada
persoalan dilematis. Hal ini disebabkan PETI identik dengan kehidupan
masyarakat bawah yang tidak memiliki akses kepada sumber daya ekonomi
lain karena keterbatasan pendidikan, keahlian, dan ketrampilan yang
dimilikinya. Penutupan kegiatan usaha berarti menambah panjang daftar
angka pengangguran dan kemiskinan, sementara membiarkan mereka tetap
beroperasi berarti menginjak-injak peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Meski memberikan dampak yang berbeda, keduanya membawa resiko
bagi Pemerintah.
Di
sisi lain, upaya untuk mewadahi masyarakat miskin (rakyat kecil)
melalui pola Pertambangan Rakyat dan Pertambangan Skala Kecil belum
memberikan hasil optimal. Disamping dihadapkan masalah internal,
kekurangberhasilan kedua pola ini juga diakibatkan oleh keberadaan
cukong di tengah-tengah masyarakat miskin yang terus meracuni kehidupan
mereka. Para cukong tersebut, mampu berperan sebagai dewa penyelamat
dengan iming-iming uang, meski dalam prakteknya menerapkan sistem ijon,
sehingga masyarakat miskin terjerat dan tidak dapat lagi melepaskan
diri dari cengkeraman cukong. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut,
maka perlu pendekatan baru dalam menanggulangi masalah PETI, yaitu
bersifat manusiawi, arif, adil dan mengedepankan pendekatan sosial
kemasyarakatan dengan tetap memberikan kesempatan kepada rakyat untuk
berperan langsung secara proporsional pada kegiatan usaha pertambangan,
tanpa mengabaikan prinsip-prinsip pertambangan yang baik dan benar.
Faktor Pendorong
Faktor pendorong kehadiran PETI dapat dikelompokkan menjadi:
1. Faktor Sosial , yaitu :
- Keberadaan penambang tradisional oleh masyarakat setempat yang telah berlangsung secara turun - temurun.
- Hubungan yang kurang harmonis antara pertambangan resmi/berizin dengan masyarakat setempat.
- Penafsiran keliru tentang reformasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa batas.
2. Faktor Hukum, yaitu
- Ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan perundang- undangan yang berlaku dibidang pertambangan.
- Kelemahan
peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan, yang antara lain
tercermin dalam kekurang berpihakan kepada kepentingan masyarakat luas
dan tidak adanya teguran terhadap pertambangan resmi/berizin yang tidak
memanfaatkan wilayah usahanya (lahan tidur).
- Kelemahan dalam penegakan hukum dan pengawasan.
3. Faktor
Ekonomi, yaitu : Keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha
yang sesuai dengan tingkat keahlian/ ketrampilan masyarakat bawah.
- Kemiskinan dalam berbagai hal, miskin secara ekonomi, pengetahuan, dan ketrampilan.
- Keberadaan pihak ketiga yang memanfaatkan kemiskinanuntuk tujuan tertentu, yaitu penyandang dana (cukong), backing (oknum aparat) dan LSM.
- Krisis
ekonomi berkepanjangan yang melahirkan pengangguran terutama dari
kalangan masyarakat bawah.Penemuan cadangan baru oleh perusahaan tambang
resmi/ berizin,
Dampak Negatif
1. Kehilangan Penerimaan Negara
Dengan
status yang tanpa izin, maka otomatis PETI tidak terkena kewajiban
untuk membayar pajak dan pungutan lainnya kepada Negara. Menurut
perhitungan, kerugian Negara atas tidak terpungutnya pajak dari PETI
diperkirakan mencapai
Rp. 315,1 milyar/tahun. Jumlah ini dipastikan akan membengkak jika memperhitungkan penerimaan negara dari sektor lain yang mendukung kegiatan PETI (multiplier effect) dan tidak dapat dipungut oleh Negara.
Rp. 315,1 milyar/tahun. Jumlah ini dipastikan akan membengkak jika memperhitungkan penerimaan negara dari sektor lain yang mendukung kegiatan PETI (multiplier effect) dan tidak dapat dipungut oleh Negara.
2. Kerusakan Lingkungan Hidup
Pada
perusahaan tambang resmi/berizin, yang notabene dibebani kewajiban
untuk melaksanakan program pengelolaan lingkungan melalui AMDAL, faktor
lingkungan hidup tetap menjadi masalah krusial yang perlu mendapat
pengawasan intensif, Dengan kegiatan PETI yang nyaris tanpa pengawasan,
dapat dibayangkan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Terlebih
lagi, para pelaku PETI praktis tidak mengerti sama sekali tentang
pentingnya pengelolaan lingkungan hidup, sehingga lahan suburpun
berubah menjadi hamparan padang pasir yang tidak dapat ditanami akibat
tertimbun limbah penambangan dan pengolahan.
3. Kecelakaan Tambang
Dari
aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), kegiatan PETI telah
menimbulkan kecelakaan tambang yang memakan korban luka-luka dan
meninggal dunia, serta berbagai penyakit. Memang tidak ada laporan resmi
tentang jumlah korban, baik yang luka, cacat,
maupun meninggal dunia, namun diperkirakan cukup banyak. Hai ini dapat
diprediksi dari berita di berbagai media cetak, baik lokal maupun
nasional, yang memberitakan kecelakaan tambang.
4. Iklim Investasi Tidak Kondusif
Tertarik
tidaknya investor untuk menanamkan modalnya disektor pertambangan,
bukan semata-mata, dilihat dari sisi geologis, namun dipengaruhi juga
dari stabilitas politik dan ekonomi yang mampu memberikan jaminan
kepastian hukum. Dua faktor terakhir inilah yang kini tengah mengalami
batu ujian di Indonesia menyusul maraknya PETI di berbagai wilayah,
sebab telah mengakibatkan iklim investasi menjadi tidak kondusif dan
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurut
hasil beberapa studi, sebelum terjadi krisis ekonomi dan politik,
sudah diidentifikasi bahwa dalam segi kepastian hukum dan keamanan
investasi, Indonesia dinilai lebih rendah dibanding kompetitor
terdekatnya (Cina). Dengan terjadinya krisis ekonomi dan politik yang
berkepanjangan, serta disusul oleh penjarahan PETI terhadap wilayah
pertambangan berizin, maka dapat dipastikan Indonesia berada pada
peringkat bawah sebagal negara berisiko tinggi untuk berinvestasi (high country risk).
5. Pemborosan Sumber Daya Mineral
Teknologi penambangan dan pengolahan yang dilakukan oleh PETI secara umum sangat sederhana, sehingga perolehannya (recovery)
sangat kecil (sekitar 40%), Baik sisa cadangan yang masih tertinggal
di dalam tanah maupun limbah hasil pengolahan (tailing), yang
masing-masing sebesar 60%, sangat sulit untuk ditambang atau diolah
kembali karena kondisinya sudah rusak (idle resources).
Disamping itu, karena PETI hanya menambang cadangan berkadar tinggi,
maka cadangan berkadar rendah menjadi tidak ekonomis untuk ditambang.
Padahal jika penambangan dilakukan secara benar (good mining practice), cadangan berkadar rendah sebenarnya ekonomis untuk ditambang apabila dicampur (mixing) dengan cadangan berkadar tinggi sepanjang sesuai cut off grade yang telah ditentukan.
6. Pelecehan Hukum
Kegiatan
PETI telah menimbulkan preseden buruk bagi upaya penegakan dan
supremasi hukum di Indonesia. Hukum memang sulit atau mustahil
diberlakukan di wilayah-wilayah PETI, sebab aparat penegak hukum
sendiri seringkali harus berhadapan dengan kelompok masyarakat yang
\\\'tidak mengerti hukum\\\', karena berbagai alasan. Dampak negatif
lebih buruk yang muncul kemudian adalah keengganan pengusaha untuk
berusaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga
menutup peluang bagi Pemerintah untuk menumbuhkan sektor perekonomian
secara menyeluruh.
7. Kerawanan Sosial
Di
hampir semua lokasi kegiatan PETI, gejolak sosial merupakan penstiwa
yang kerap terjadi, baik antara perusahaan resmi dengan pelaku PETI,
antara masyarakat setempat dengan pelaku PETI (pendatang), maupun
diantara sesama pelaku PETI sendiri dalam upaya
mempertahankan/melindungi kepentingan masing-masing. Masyarakat bawah,
yang seringkali menjadi korban dari penyandang dana (penadah) dan
oknum aparat, mengakibatkan kehidupan mereka sangat rawan terhadap
rnuncuinya gejolak sosial.
Kondisi Saat Ini
Sejauh
ini jenis bahan galian yang diusahakan oleh PETI yang berhasil
diinventansasi adalah emas, batubara, dan intan. Hal ini tidak menutup
kemungkinan adanya bahan galian Golongan A dan Golongan B lain yang juga
diusahakan oleh PETI. Khusus untuk bahan galian Golongan C,
berdasarkan hasil survei Puslitbang Teknologi Mineral, terungkap bahwa
lebih dari 90% usaha pertambangan bahan galian Golongan C berstatus
tanpa izin (PETI/non SIPD), mencakup hampir seluruh provinsi (60%
berada di P.Jawa), serta meliputi seluruh jenis bahan galian golongan C
(terbesar adalah bahan galian agregat, seperti batu, pasir, dan
kapur).
Kebijakan Penanggulangan Masalah PETI
Penanggulangan masaiah PETI, selalu dihadapkan kepada berbagai hambatan dan masalah, yaitu:
1. Masih banyaknya oknum aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang terlibat atau melibatkan diri pada kegiatan PETI.
2. Perangkat
hukum di berbagai sektor yang terkait dengan kegiatan pertambangan,
mulai dari tahapan eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, sampah kepada
pengawasan komoditi tambang, menunjukkan belum adanya visi yang
sama/seragam, sehingga sering menimbulkan biaya tinggi dan lolosnya
komoditi tambang illegal berikut pelakunya dari jeratan hukum. Sementara
itu, sanksi bagi pelaku PETI sesuai Undang-undang No.11 tahun 1967,
masih relatif ringan dan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat luas.
3. Pemerintah
pusat dan daerah belum bekerja secara fungsional dan terpadu, sehingga
penertiban oleh berbagai instansi belum berjalan optimal.
4. Walaupun
sudah diterbitkan Inpres No.3 Tahun 2000, belum seluruh Pemda
memberikan respon terhadap kegiatan penanggulangan masalah PETI. Padahal
Pemda merupakan ujung tombak dari kegiatan ini.
Mengingat
permasalahan PETI begitu kompleks, maka penanggulangannya memerlukan
konsep yang terintegrasi dan harus dilakukan secara terpadu. Dengan
mernpertimbangkan permasalahan faktual yang terjadi dibidang sosial,
ekonomi, hukum dan politik, maka penanggulangan masalah PETI ini
menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan seiring dengan
ditegakkannya hukum. Artinya, bagaimana kepentingan masyarakat dapat
diakomodasikan secara proporsional tanpa mengabaikan prinsip-prinsip
praktek pertambangan yang balk dan benar, yang diarahkan kepada:
1. Transfornnasi
struktural, agar kegiatan ekonomi masyarakat setempat dapat diarahkan
kepada kegiatan usaha disektor lainnya yang lebih menarik daripada
sebagai penambang tanpa izin, atau pada kegiatan usaha penunjang di
sektor pertambangan.
2. Bagi
masyarakat yang ingin menekuni usaha di sektor pertambangan,
diakomodasikan melalui pola Pertambangan Rakyat/ Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR) dan Pertambangan Skala Kecil (PSK) yang mengalokasikan
wilayahnya dikaitkan dengan kebijakan penciutan wilayah, dan mendapat
bimbingan serta subsidi dari pemerintah. Disamping itu, pemerintah akan
rnengalokasikan cadangan mineral dangkal dan atau sekunder (alluvial)
yang terdapat di sungai-sungai atau bekas sungai untuk diusahakan oleh
rakyat melalui pertambangan berskala kecil. Dalam kaitan ini diperlukan
pembinaan dan pengawasan secara intensif, serta dalam pelaksanaannya
dapat dilakukan bekerjasama dengan perusahaan tambang swasta dan BUMN.
3. Apabila
kedua Cara diatas belum mampu mengurangi atau meniadakan aktivitas
PETI secara keseluruhan, masih dimungkinkan melalui program kemitraan
usaha, sehingga (eks) pelaku PETI yang aktivitasnya berada pada konsesi
perusahaan pemegang pertambangan (KP/KK/PKP2B) menjadi subordinat dari
kegiatan usaha pertambangan tersebut dengan kondisi tertentu yang
saling menguntungkan (win-win solution).
4. Penerapan strategi dengan
- Mengupayakan adanya penegakan hukum.
- Mendorong perusahaan pertambangan melaksanakan pengembangan masyarakat (community development) yang sesuai setempat.
- Mengupayakan usaha pertambangan yang berpihak dapat masyarakat dan ramah lingkungan.
- Mengupayakan
adanya keterpaduan usaha kegiatan pertambangan tradisional, skala
kecil, menengah, dan skala besar melalui kemitraan yang saling
menguntungkan.
Akhirnya, bahwa masalah penanggulangan PETI adalah kunci bagi pembenahan sektor pertambangan guna mendorong terlaksananya good mining practice yang berwawasan lingkungan dan terciptanya iklim yang kondusif.
Sumber: Majalah Info Pertambangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar